Damnoen Saduak Floating Market in Bangkok, Thailand [Indonesia]

Pedagang diatas perahu (ciri khas floating market); sayang dagangannya terlalu ditujukan untuk turis



Hi all,

Sebagai artikel pertama di blog ini, gw mau menceritakan sedikit tentang pengalaman "kind of feel like being scammed" di Bangkok, Thailand.

Segera setelah gw merasa seperti tertipu inilah muncul ide di benak gw untuk menulis sebuah blog yang judulnya "My Occasional Travel Journal", dimana gw mau menceritakan tentang pengalaman saat jalan-jalan ke beberapa tempat (biarpun gw sendiri bukan backpacker atau traveler sejati yang sering banget jalan-jalan), supaya kalian-kalian yang mau mengunjungi tempat-tempat tersebut bisa punya gambaran dan bisa mendapatkan pengalaman yang lebih baik dari gw.

So, langsung kita mulai!


[13 Juli 2016]
Libur Idul Fitri 2016 ini, gw dan keluarga (total 5 orang) berkunjung ke Singapura, Malaysia, dan lanjut ke Thailand. Sejak 2 hari yang lalu, kita sudah tiba di Bangkok dan hari ini kita sudah berencana untuk mengunjungi Damnoen Saduak Floating Market.

Hari sebelumnya, gw sudah melakukan survey ke beberapa travel agent di sekitaran tempat tinggal terkait dengan cara pergi, tour packages, serta harganya. Dari dua travel agent yang gw kunjungi, kedua-duanya menyediakan half-day trip ke Damnoen Saduak Floating Market, dengan biaya THB 1500.00 per orangnya (sudah termasuk transportasi dari pusat kota ke lokasi, tiket masuk, dan naik kapal didalamnya). Half-day trip itu mulai pagi-pagi, sekitar jam 06.00 dan berakhir sekitar jam 15.00. 

Pertama, kenapa harus berangkat pagi-pagi? Karena katanya, floating market cuma buka pagi-pagi, selain itu, Damnoen Saduak Floating Market terletak di luar pusat kota Bangkok dan perjalanan menuju ke sana butuh waktu kurang lebih 1,5 jam dengan menggunakan mobil.

Kedua, kenapa mereka merekomendasikan kita untuk pergi ke floating market yang satu ini, padahal di Bangkok ada beberapa floating market lain? Konon, Damnoen Saduak adalah satu-satunya floating market yang benar-benar floating market. Artinya, zaman dulu ketika memang belum ada jalanan dan sungai merupakan satu-satunya jalur transportasi bagi penduduk, lokasi yang sekarang menjadi Damnoen Saduak Floating Market ini memang merupakan pasar apung tempat penduduk berbelanja. Floating market lain, seperti Khlong Lat Mayom Floating Market di Taling Chan (yang gw temukan dari blog orang lain) relatif lebih kecil, kurang ramai, dan baru muncul belakangan ini. Karena itu, akhirnya gw sekeluarga memutuskan untuk berkunjung ke floating market yang satu ini.

Jadi, gw mengambil kesimpulan, bahwa kalau pergi dengan travel agent, gw perlu menghabiskan THB 7500.00 untuk lima orang keluarga gw, dan gw cuma bisa pergi ke satu tempat ini.

Berikutnya, di travel agent yang gw temui di lobi hotel, ada yang menawarkan jasa sewa mobil Toyota Innova ke lokasi tsb dan harganya THB 3000.00. Sebagai tour guide dadakan, dia menjelaskan bahwa setiba di floating market, kita masih harus sewa perahu seharga THB 2500.00 (katanya, untuk masuk kedalam, kita harus naik perahu karena semuanya sungai dan mobil cuma bisa berhenti diluar pasar apungnya). Katanya, harga kapal tersebut merupakan harga resmi dari pemerintah dan terpampang di kounter (biarpun gw merasa harga tersebut sangat-sangat mahal, yaitu sekitar Rp 1.000.000,-, gw akhirnya tetap percaya).
Next, tour guide yang sama juga menyarankan kita untuk pergi ke Maeklong Railway Market (akan gw bahas di artikel lain), karena lokasinya yang cukup berdekatan dengan Damnoen Saduak Floating Market. Lalu, setelah kembali, kita mau diantar mengunjungi Grand Palace (tiket masuk untuk orang asing adalah THB 500.00 per orang) dan kuil Wat Pho (tiket masuk untuk orang asing sebesar THB 100.00 per orang).

Dengan penawaran yang biayanya cukup besar tersebut, kami sekeluarga perlu mengadakan rapat akbar...
Setelah diskusi, akhirnya kita memutuskan untuk pergi hanya ke floating market dan railway market aja; dan karena kita merasa harga yang diberikan cukup mahal, kita berniat mencoba untuk menawar lagi dengan tour guide tersebut. Alhasil, ketika gw telpon dan jelaskan bahwa kami merasa harganya sedikit mahal, tour guide tersebut bilang, "Okay-lah, you just tell me how much your family can pay? (oke, kasih tahu aja berapa harga yang bisa kalian bayar?)" dan gw bilang THB 2000.00. Tanpa pikir panjang, kita langsung deal di harga THB 2000.00 (kesimpulannya: SELALU MENCOBA UNTUK MENAWAR!!).

Hari berikutnya, kita diantar ke lokasi yaitu Damnoen Saduak Floating Market. Kita berhenti di area parkir dan memang ada spanduk besar dengan tulisan harga sewa perahu untuk 1 jamnya sebesar THB 2000.00 (dibawahnya ada harga sewa kapal untuk orang Thai yang ga bisa gw baca karena tertulis dalam aksara Thai - tapi harusnya dibawah THB 1000.00, karena angkanya 3 digit). Selain itu, ada paket sewa selama 1,5 jam yang harganya THB 3000.00. Tour guide di sana menjelaskan bahwa dengan paket 1,5 jam, kita bisa melintasi semua jalur pasar apung dan bisa berkesempatan berhenti di tempat pembuatan gula kelapa dimana kita bisa belajar proses pembuatannya, dan satu tempat lain yang gw lupa namanya. Karena kurang tertarik dengan gula kelapa, kita akhirnya memutuskan untuk ambil paket 1 jam saja.



DAMNOEN SADUAK FLOATING MARKET

Kita sekeluarga naik perahu bermotor dengan kapasitas 6 orang (ada 3 baris kursi yang masing-masing bisa diisi 2 orang saja). Perahu ini mempunyai atap, sehingga jika kita berkunjung di siang bolong, panasnya matahari masih bisa ditolerir.

Pertama, kita berputar-putar melalui sungai yang kiri-kanannya adalah rumah-rumah penduduk (sepertinya ini jalur menuju area pasar). Setelah 15 menit, akhirnya kita tiba di toko pertama yang menjual oleh-oleh kerajinan. Namun, karena kami memang ke sini untuk melihat suasana pasar apung yang otentik, kami sama sekali tidak bergeming ketika perahu menepi dipinggir toko-toko souvenir (selain itu, kami merasa bahwa harga barang souvenir di tempat wisata seperti ini pasti lebih mahal daripada di pusat-pusat souvenir).
Untuk memberikan sedikit gambaran, beberapa toko pertama yang kita lalui merupakan toko kecil dibahu sungai. Barang-barangnya dipajang sehingga bisa terlihat dari atas perahu dan jikalau kita mau berbelanja, kita cukup melakukan transaksi dari atas perahu saja.

Setelah melalui beberapa toko souvenir dan kita mulai merasa bosan dengan barang-barang kerajinan, akhirnya gw bilang ke motorisnya untuk lihat-lihat jajanan. Alhasil, kita dibawa ke jalur yang banyak makanan dan kita ditawari untuk beli es krim kelapa, bihun khas Thailand, kwetiau goreng khas Thai, dan sebagainya. Motoris tersebut beberapa kali membantu mempromosikan makanan-makanan yang kita lalui (dia berharap kita beli atau setidaknya sedikit merogoh kantong). Kita sempat mencoba es krim kelapa, namun makanan-makanan Thai lainnya sudah pernah kita coba di tempat lain, sehingga kita pun tidak membeli banyak makanan.
Di sini kita mulai melihat orang-orang yang berjualan dari atas sampan kecil. Cukup mengejutkan melihat nenek-nenek usia 65 tahun (rambutnya sudah beruban semua) dapat mendayung dan mengejar perahu motor kami dengan maksud untuk menawari dagangannya.


Menit-menit awal, kiri-kanannya cuma rumah-rumah penduduk

Toko pertama yang kita lihat dimana barang-barangnya dipajang dipinggir sungai dan tidak memungkinkan untuk turun

Menit ke-15, ketika kita mulai memasuki kawasan Floating Market


Masuk menit ke-25, kita mulai tiba di area pasar yang cukup ramai. Sungai dipenuhi dengan perahu wisata (isinya turis semua), dan dibahu sungai terlihat toko-toko seperti food court yang cukup besar (berbeda dengan toko-toko pinggir sungai sebelumnya dimana kita bisa bertransaksi dari atas perahu), sehingga gw bilang ke motoris untuk berhenti sebentar di bahu sungai karena kita mau lihat-lihat makanan. Namun motoris tersebut menolak, katanya, karena waktunya yang sangat mepet maka paket 1 jam tidak boleh berhenti dan turun sama sekali. Ini membuat gw cukup kaget, karena yang gw tangkap dari penjelasan tour guide ditempat penyewaan perahu, dengan paket 1 jam kita tidak bisa berhenti di dua tempat (tempat pembuatan gula kelapa dan satu tempat lagi yang gw lupa namanya), namun kita tidak dilarang untuk berhenti ditempat lain (selama waktunya mumpuni). Setelah berdebat sedikit dengan motoris tersebut, akhirnya gw nyerah karena motoris tersebut pun tidak begitu mengerti Bahasa Inggris.
Di tengah sungai yang padat, gw bisa melihat bahwa mayoritas perahu dipenuhi dengan turis mancanegara. Hal ini sedikit mengecewakan, karena suasananya bukan lagi suasana pasar apung yang otentik, tapi suasana pasar apung yang memang mengincar turis mancanegara. Hampir tidak terlihat orang lokal yang berbelanja sayuran layaknya sebuah pasar (barang dagangannya pun hampir semua adalah barang-barang souvenir).

Menjelang menit ke-40, perahu kami terhimpit dihimpunan perahu turis dan gw melihat sebuah perahu dayung tak beratap yang cukup menarik. Menarik karena kapal ini terlihat lebih tradisional jika dibanding dengan perahu motor yang kami naiki, selain itu, pendayungnya adalah seorang perempuan usia 40 tahun yang nampak seperti penduduk lokal. Sebenarnya perahu serupa sudah beberapa kali melintas didepan kami, namun berhubung kami terhimpit dan berjalan sangat pelan, gw mencoba membangun percakapan dengan salah satu turis di kapal tersebut, "How did you get this kind of boat? (gimana caranya kalian mendapatkan kapal seperti ini?"
     "We took it from inside the market (kita naik dari dalam pasarnya)"
     "How much is it? (berapa harganya?)"
     "It's THB 150.00 for 50 minutes. We were walking when a paddle boat passed over us, then they offered us to take the boat for that price (harganya THB 150.00 untuk 50 menit. Ketika kita lagi berjalan, kapal dayung ini lewat dan menawari kita untuk naik dengan harga tersebut)"

Bahasa Inggris turis tersebut memang kurang lancar, namun kira-kira seperti itulah percakapan kita; dan dari percakapan tersebut, gw sangat kaget karena harga yang mereka dapatkan sangat-sangat berbeda dengan harga yang kita bayar. Dan disaat itu juga, gw merasa "I'm kinda feel like being scammed"....
Perahu mereka memang tidak beratap dan relatif lebih kecil (namun masih bisa menampung 6 orang penumpang). Kalau kalian mau sesuatu yang lebih natural, kapal mereka bisa jadi pilihan yang lebih baik dari segi harga dan otentisitas.

Akhirnya, perjalanan selesai dan kita kembali ke mobil. Saat itu, karena gw merasa tour guide kami tidak menyediakan informasi yang lengkap dan komperhensif, gw mencoba untuk konfirmasi ke tour guide tersebut, "I saw some people taking small boat and they said that they paid only THB 150.00 for the boat. Do you know how to get that kind of boat? (Gw lihat ada orang yang naik kapal kecil dengan harga THB 150.00, lu tahu caranya mendapatkan kapal kayak gitu?)"
Dia menjawab, "No, it's all the same price. There are few vendors for the boat, but the price are all the same THB 2000.00. You can also ride elephants to get into the market, then change small boat inside, but I don't know the price for the elephants. (Semua sama, memang ada beberapa tempat untuk naik kapal, namun harganya seragam THB 2000.00. Sebenarnya, kalian juga bisa naik gajah kedalam pasar dan naik kapal kecil didalamnya, tapi gw ga tahu harga untuk gajahnya itu.)"

Supaya tidak muncul kesan kita menyalahi tour guide itu, kita tidak bertanya lebih jauh (bagaimanapun sudah terjadi). Jadi, kita tidak pernah menemukan jawabannya. Mungkin turis tersebut memang naik perahu motor atau bahkan gajah kedalam pasar lalu berganti perahu dayung, atau mungkin mereka berjalan kaki ke dalam area pasar dan kemudian naik perahu dayung tersebut.

Dan dengan demikian, berakhirlah perjalanan kita di Damnoen Saduak Floating Market, dan kita diantar kembali ke pusat kota menuju area Grand Palace. ^^


Di tengah floating market, tangga ke tepian sungai yang kelihatan seperti food court


Menit ke-40, terhimpit di tengah himpunan perahu


Pelajarannya: kalau kalian melihat harga THB 2000.00 tersebut terpampang diatas spanduk resmi dan berpikir bahwa "yang resmi lebih murah", gw rasa kalian salah! Logikanya, backpacker-backpacker dengan kantong miris pun bisa merasakan suasana pasar apung itu, dan dengan pola pikir backpacker, mereka pantang mengeluarkan uang sebesar itu. Namun konsekuensinya, mungkin kalian perlu jalan sedikit lebih jauh melintasi rumah-rumah penduduk untuk bisa sampai ke dalam pasar tanpa naik perahu motor.
Selain itu, selalu pelajari tempat yang mau dikunjungi dulu. Zaman sekarang, banyak sekali blog-blog backpacker yang memberikan gambaran secara detil (atau blog non-backpacker seperti blog gw ini), bahkan cara untuk mengirit kantong sampai seminimal mungkin. Syaratnya, kalian harus rajin membaca!